Senin, 16 September 2013

Makna dan Konsep Penyuluhan Pembangunan

Oleh: Santi Utami Dewi

Jika melihat dari sejarah, maka penyuluhan itu berawal dari suatu sistem pertukaran informasi mengenai pertanian (agricultural information exchange) yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian itu sendiri. Hal ini sudah dilakukan oleh Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani (Leeuwis, 2004:22). Dalam bahasa Inggris, istilah penyuluhan menggunakan istilah “extention”. Penggunaan istilah ini berawal dari “university extension” atau “extension of the university” yang merupakan kegiatan staf pengajar dari universitas untuk menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang pertanian kepada masyarakat non-universitas (Leeuwis, 2004:22).

Penggunaan extension akhirnya lebih lazim digunakan terutama untuk penyuluhan pertanian (agricultural extension). Karena penggunaannya berkembang ke bidang-bidang lain keluarlah istilah “Extension Education”, “Development Communication” atau “Development Extension” (Penyuluhan Pembangunan). (Hafsah, 2009:44)

Di Indonesia, dengan istilah “penyuluhan”, berasal dari akar kata “suluh” yang berarti obor (torch). Istilah ini sejalan dengan istilah yang digunakan Belanda yaitu voorlichting, yang berarti “menerangi jalan di depan agar orang dapat menemukan jalannya sendiri”, sama seperti fungsi obor. Atau dengan kata lain, penyuluhan adalah upaya untuk membantu orang menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi (enlightenment). (Leeuwis, 2004:23)

Konsep “enlightenment” inilah yang mengawali pengertian penyuluhan, dimana digambarkan bahwa ada seseorang yang secara akademik memadai memberikan “pencerahan” kepada orang-orang awam agar mereka bisa melihat jalan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Pengertian seperti ini, jelas-jelas menunjukkan dimensi pendidikan (edukasi) dari penyuluhan, walau masih bersifat paternalistik dimana seorang penyuluh datang sebagai orang yang mengajarkan sesuatu yang baru kepada peserta penyuluhan, sedangkan peserta penyuluhan hanya bersifat pasif mendengarkan dan berusaha memahami (Leeuwis, 2004:23).
Dilihat dari definisi Maunder (1973:3, dalam Leeuwis, 2004:23) yang menekankan dimensi pendidikan : “Extension is a service of system which assists farm people, through educational procedures, in improving farming methods and techniques, increasing producation efficiency and income, bettering their levels of living, and lifting social and educational standards” atau “Penyuluhan adalah suatu sistem layanan yang membantu komunitas petani melalui proses pendidikan untuk meningkatkan metode dan teknik pertanian hingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan, meningkatkan kualitas hidup mereka, dan meningkatkan derajat sosial serta tingkat pendidikan”.
Pada perkembangan berikutnya, penyuluhan tidak sebatas memberikan pengetahuan baru secara satu arah dari penyuluh ke subyek penyuluhan. Penyuluhan pun berkembang menjadi suatu proses membantu petani untuk menyelesaikan masalah-masalahnya serta membuat keputusan mengenai hal itu. Di sini penekanan “edukasi” sedikit bergeser ke arah memberikan dukungan untuk pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Definisi penyuluhan oleh Adams (1982:xi, dalam Leeuwis, 2004:24)  menjadi: “Agricultural extension: Assistance to famers to help them to identify and analyse their production problems and to become aware of the opportunities for improvement.” Atau “Penyuluhan pertanian adalah pendampingan kepada petani untuk membantu mereka mengidentifikasi dan menganalisa masalah yang mereka hadapi dalam produksi pertanian serta membangun kesadaran atas kemungkinan-kemungkinan perbaikan dan peningkatan ke arah yang lebih baik.” Definisi ini lebih banyak menekankan pada dimensi advokasi (pendampingan) dimana subyek penyuluhan diarahkan dan difasilitasi untuk menolong diri mereka sendiri.
Jadi kegiatan penyuluhan berawal dari permasalahan dari sudut pandang para petani itu sendiri. Namun terkadang sering nampak persoalan-persoalan yang mungkin sebenarnya ada, namun tidak disadari oleh petani. Bahkan ada isu-isu yang vital bagi petani, tapi mereka tidak menyadarinya, contoh masalah hama baru, perubahan kebijakan pemerintah dan sebagainya. Untuk ini organisasi penyuluhan menjalankan fungsi intervensi kepada para petani. Fungsi inilah yang kita kenal sebagai fungsi penerangan. Definisi yang tepat untuk ini adalah definisi dari Roling (1988:49, dalam Leeuwis, 2004:25) : “Extension is a professional communication intervention deployed by an institution to induce change in a voluntary behaviour with a presumed public or collective utility”.

Jadi penyuluhan juga memiliki fungsi melakukan intervensi perubahan pada para petani (atau subyek penyuluhan) ke arah yang diinginkan secara sukarela. Ini sejalan dengan fungsi politik dari penyuluhan itu sendiri, terutama bila berkenaan dengan pemasyarakatan suatu kebijakan pemerintah yang baru kepada masyarakat.
Di Indonesia, pengertian penyuluhan tercantum di Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yaitu: “Proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha  agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup.”
Fungsi penyuluhan itu sendiri adalah menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang berkembang menjadi kebutuhan para petani itu sendiri (Setiana, 2005:3). Berdasarkan hal itu maka ada beberapa model besar yang berkembang, diantaranya: (1) model interaksi sosial, dimana hal yang dilakukan adalah difusi inovasi, dan (2) model pemecahan masalah (Van den Ban, 1999:51, terj.).
Model interaksi sosial menekankan pada difusi inovasi, dimana diawali dengan membangun kesadaran petani tentang adanya inovasi (melalui media massa, misalnya), dan petani tidak akan pernah menerima inovasi sebelum berbicara dengan orang-orang yang berpengalaman tentang itu.
Model pemecahan masalah, lebih banyak bertolak dari petani itu sendiri dibandingkan pada inovasi atau penelitian. Petani memerlukan inofrmasi untuk memecahkan masalah dari hasil penelitian yang telah ada, dari suatu penelitian baru untuk memecahkan masalah, dan sebagian lagi dari pengalaman petani termasuk keluarganya. Sebagai contoh, anak seorang petani ingin bergabung usaha dengan ayahnya. Mereka memerlukan perluasan areal atau mengintensifkan penggunaan tanah sebagai sumber pendapatan Penelitian di sini lebih berfungsi memberikan informasi mengenai perkiraan pendapatan dan risiko yang mungkin timbul dari berbagai pilihan, tetapi tidak menyediakan informasi untuk segala macam aspek.
Dua model ini memberikan gambaran tentang suatu pergeseran paradigma mengenai penyuluhan, terutama memasuki era otonomi daerah seperti sekarang. Pada tahap-tahap awal model interaksi sosial yang lebih dominan. Namun sekarang model pemecahan masalah yang lebih banyak dipakai, yaitu pendekatan sumber dari pemecahan masalah berasal dari para petani itu sendiri. Di era otonomi daerah yang banyak menuntut desentralisasi, maka model kedua inilah yang lebih tepat, yang lebih banyak menuntut partisipasi masyarakat dibandingkan pemusatan sumber pengetahuan dari pusat.
Asumsi yang dipakai (Hafsah, 2009:42) adalah (a) keinginan, kemampuan dan kesanggupan untuk maju secara potensial ada di petani, (b) petani tidak bodoh, tidak konservatif, melainkan mampu belajar dan sanggup berkreasi, (c) belajar dengan mengerjakan sendiri (learning by doing), (d) belajar melalui pemecahan masalah yang dihadapi secara praktis, serta (e) berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri, sehingga program pertanian untuk petani dan oleh petani akan menimbulkan partisipasi yang wajar dari masyarakat tani.
Atas dasar asumsi ini, maka falsafah penyuluhan dilandasi tiga hal (Suhardiyono, 1990 dalam Hafsah, 2009:42): (a) penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan yang membawa perubahan yang diharapkan oleh seseorang atau masyarakat, (b) penyuluhan merupakan proses demokrasi yang dilaksanakan dengan cara tidak memaksakan sesuatu kepada masyarakat tani, (c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus.
Dengan demikian tujuan jangka panjang penyuluhan pertanian adalah terjadinya peningkatan taraf hidup (sesuai definisi pada UU No. 16 Tahun 2006) yang dicapai melalui (Setiana, 2005:3):
a. Better farming, mau dan mampu mengubah cara-cara usaha taninya dengan cara yang lebih baik
b. Better business, berusaha yang lebih menguntungkan, mau dan mampu menjauhi para pengijon, lintah darat, dan melakukan pemasaran yang benar
c. Better living, hidup lebih baik dengan mampu menghemat, tidak berfoya-foya dan setelah berlangsungnya masa panenan, bisa menabung, bekerja sama memperbaiki hygiene lingkungan dan mampu mencari alternatif lain dalam hal usaha.
Dengan demikian, secara keseluruhan penyuluhan harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Setiana, 2005:5):
1. Pendidikan yang mengubah pengetahuan, sikap, dan keterampilan
2. Membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri, oleh karenanya harus ada kepercayaan dari masyarakat sasaran
3. Belajar sambil melakukan sesuatu, sehingga ada keyakinan atas kebenaran terhadap apa yang diajarkan.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa penyuluhan memiliki cakupan kegiatan sebagai berikut (Setiana, 2005:11):
1. Penyuluhan sebagai proses penyebarluasan informasi, dimana sasaran yang diharapkan masyarakat bisa memperoleh informasi seluas-luasnya tentang segala hal yang berkaitan dengan dengan usaha tani mereka, bagaimana mereka sebaiknya berusaha tani yang berna, melakukan budi daya yang tepat dan baik sehingga produktivitas meningkat.
2. Penyuluhan sebagai proses penerangan, dimana titik beratnya adalah memberikan penerangan kepada masyarakat yang tidak tahu atau belum mengetahui, terutama tentang inovasi yang perlu dikembangkan atau diterapkan di wilayah yang bersangkutan
3. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku, dimana sasaran perubahan tidak sebatas penambahan pegnetanuannya saja, namun diharapkan adanya perubahan pada keterampilan sekaligus sikap mentalyang menjurus kepada tindakan atau kerja yang lebih baik, produktif dan menguntungkan.
4. Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dimana disamping terjadi peningkatan pengetahuan, proses pendidikan mengajarkan masyarakat lebih kritis dan mampu memahami fenomena yang berkembang dalam masyarakat, sehingga apabila masyarakat akan menerapkan suatu teknologi mereka tahu benar apa, bagaimana sebaiknya sesuatu hal baru itu dilaksanakan. Proses ini diharapkan tidak mengajarkan ketergantungan, melainkan mampu mengembangkan kemandirian.
5. Penyuluhan  sebagai proses rekayasa sosial, dimana terciptanya perubahan perilaku dair anggota-anggotanya, seperti yang dikehendaik demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan kelaurga serta masyarakatnya. Titik beratnya adalah pandangan bahwa perubahan hanya akan terjadi apabila ada campur tangan orang lain, baik institusi pemerintah maupun non pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat tersebut, sekaligus membutuhkan partisipasi masyarakat desa untuk terlibat di dalamnya. Keikutsertaan masyarakat itu adalah dalam bentuk pernyataan atau kegiatan. Menurut para ahli, ditinjau dari rekayasa sosial, maka waktu memegang peranan penting, yang artinya inovasi yang telah dikenal lebih dulu atau lebih lama akan lebuh mudah diterima masyarakat setempat dibandingkan yang baru dikenal.


DAFTAR PUSTAKA:

Hafsah, Mohammad Jafar. 2009. Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan.
Leeuwis, Cees. 2004. Communication for Rural Innovation, Rethinking Agricultural Extension. Oxford : Blackwell Publishing.
Sekretariat Negara R.I. 2006. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Setiana, Lucie. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Van den Ban, A.W. and H.S. Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian. Agnes Dwina Herdiastuti (Pent). Judul Asli : Agricultural Extention (Second Edition).  Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar