Oleh: Santi Utami Dewi
Disarikan dari buku:
Communication for Rural Innovation: Rethinking Agricultural Extension. Chapter 9.
Cees Leeuwis, 2003
Pembelajaran- adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Kita semua bertindak dan menerima umpan-balik dari lingkungan kita, yang pada gilirannya akan membimbing kita untuk mengadaptasi kognisi kita. Ini merupakan bentuk pembelajaran –yang dibedakan dari kegiatan pendidikan terpisah dan pengajaran- yang sangat krusial dalam konteks pendidikan orang dewasa (lihat juga Jarvis, 1987; Blum, 1996; Merriam & Caffarella, 1999) dan intervensi komunikasi. Mungkin berguna untuk diingat di sini bahwa, dalam proses perubahan dan inovasi, pembelajaran muncul dan/atau dituntut dalam berbagai ‘bidang (fronts)’
Untuk mencapai tujuan inovasi secara nyata, jelas bahwa ‘pembelajaran individual’ saja tidak cukup, tetapi diperlukan pembelajaran yang simultan dari para stakeholder yang saling terkait; karenanya, dalam rangka mencapai praktik yang koheren, semua pemangku kepentingan perlu mengembangkan kerjasama untuk saling melengkapi dan berbagi pemahaman mengenai ‘learning fronts’ sebagai dasar tindakan yang terkoordinasi secara efektif. Untuk ini, beberapa penulis telah mengistilahkannya dengan menggunakan terminologi ‘pembelajaran sosial’ (Dunn, 1971; Friedmann, 1984; Roling, 2002; Woodhill, 2002). Rolling (2002) menjelaskan ‘pembelajaran sosial’ sebagai sebuah mekanisme untuk mencapai masa depan yang diharapkan, dan sebagai sebuah ‘cara ketiga untuk menyelesaikan sesuatu’ yang berdiri secara kontras tajam terhadap instrumen mode pemikiran (Lihat Bab 4) yang mendasari intervensi teknologi konvensional dan ekonomi neo-klasik (Leeuwis & Pyburn, 2002; Roling, 2002). Lebih spesifik lagi, Rolling mendefinisikan pembelajaran sosial sebagai ‘pergeseran dari kognisi beragam kepada kognisi yang kolektif atau terdistribusi’. Dalam kasus ‘kognisi yang kolektif’, koherensi ditempa secara utama melalui pembagian persepsi ‘learning fronts’ dalam Tabel 9.1., menghasilkan tindakan yang benar-benar ‘kolektif’.
Kata ‘sosial’ dalam ‘pembelajaran sosial’ memiliki beberapa konotasi yang mengacu kepada:
• Topik yang akan dipelajari, seperti perspektif dan kepentingan stakeholder lainnya, dunia sosial, susunan/perencanaan sosial (sebagaimana direfleksikan dalam ‘learning fronts’ yang beragam; lihat tabel 9.1.
• Metode yang dapat menstimulasi pembelajaran sosial; sering kali istilah ‘pembelajaran sosial’ membawa konotasi metodologi ‘pembelajaran dalam sebuah kelompok atau podium’ .
• Sifat sosio-politik proses pembelajaran; di sini istilah ‘sosial’ mengacu kepada poin bahwa pengetahuan dan persepsi cenderung untuk dibentuk secara sosial (lihat Leeuwis, 2001), yang mengimplikasikan bahwa pembelajaran tidak bisa dianggap sebagai proses netral.
Masing-masing konotasi di atas didiskusuikan dalam buku ini. Pada bab ini, kami menghadirkan beberapa wawasan tambahan menuju pembelajaran manusiawi, dan mengindikasikan implikasi apa saja yang mereka punya untuk para praktisi yang berusaha untuk meningkatkan proses ini. Karenanya, kami berbicara tentang pembelajaran secara umum, dan tidak banyak membedakan antara jenis-jenis kognisi yang berbeda dan/atau jika ini dipakai dalam sebuah setting pembelajaran individual atau kelompok.
1. Sebuah model dasar untuk experiental learning orang dewasa
Ketika kami menyebutkan pembelajran dalam konteks inovasi, kami tidak berbicara tentang kelas sekolah umum, dimana para guru mencoba untuk mengembangkan dan menguji pembelajaran dalam kurikulum yang sudah ditetapkan. Dalam setting pedesaan, kami biasanya berhubungan dengan orang dewasa yang terlibat dalam pertnaian dan/atau kegiatan mata pencaharian lainnya, dan yang berhadapan dengan perubahan keadaan sekitar dan masalah-masalah yang memerlukan inovasi. Di sini, pembelajaran (sosial) lebih sedikit dari tujuan pembelajaran itu sendiri, lebih bersifat sukarela, dan secara langsung dihubungkan dengan perbedaan kepentingan manusia dan perubahan-perubahan dalam kebiasaan profesional. Dikarenakan langsung dihubungkan dengan kebiasaan (practice), Model ‘experiental learning’ Kolb (1984), digunakan secara luas sebagai dasar untuk mengorganisir komunikasi inovasi Model ini menjelaskan bagaimana orang belajar melalui pengalamannya. Jenis pembelajaran seperti ini sangat ‘powerful’; terlihat bahwa kesimpulan yang disusun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan pengalaman mereka cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan wawasan yang diformulasikan oleh orang lain dengan dasar pengalaman yang tidak bisa diidentifikasi oleh pembelajar. Hal ini juga mengacu kepada ‘learning by doing’ atau ‘discovery learning’.
Kolb's Experiential Learning Cycle
Model ini mengindikasikan bahwa pembelajaran terjadi dari interaksi yang berkelanjutan dan pengulangan antara pemikiran dan tindakan: tindakan nyata menghasilkan pengalaman tertentu, yang direfleksikan (juga terhadap latar belakang wawasan non-eksperiental yang relevan), dan berikutnya mengakibatkan perubahan kognitif, dimana nantinya tindakan baru bisa muncul, dll. Model ini mengimplikasikan bahwa pembelajaran dapat ditingkatkan dengan secara aktif mendukung langkah-langkah dasar dan perwujudan (translation) yang terjadi selama pembelajaran, dan dengan menawarkan kesempatan pembelajaran baru. Misalnya dengan secara aktif mendorong pencobaan, memperluas jangkauan observasi yang dibuat, merangsang proses refleksi, dan membantu menggambarkan kesimpulan.
Gaya Belajar
Kolb menggunakan modelnya tidak hanya untuk menjelaskan bagaimana experiental learning dilakukan, tetapi juga mengindikasikan bahwa setiap orang belajar dengan gayanya masing-masing. Kita tidak akan merinci tentang empat gaya belajar universal yang dikemukakan oleh Kolb (pada dasarnya karena kami mendapatinya agak problematis; lihat Leeuwis, 1993: 287-8). Namun demikian, gagasan Kolb berharga, yakni bahwa orang yang berbeda cenderung untuk belajar dengan cara yang berbeda, karena hal itu mengajarkan kita bahw orang yang berbeda mungkin memerlukan bentuk dukungan yang berbeda dalam mencapai kesimpulan yang berbeda. Dimensi relevan dari keragaman ini adalah:
• Abstrak vs konkrit: beberapa orang belajar dengan mudah dengan abntuan abstrak, sementara yang lainnya belajar lebih efektif melalui pengalaman sensorial yang konkrit.
• Divergen vs konvergen: beberapa orang cenderung langsung loncat kepada kesimpulan dengan cepat beedasarkan pengalaman-pengalaman tertentu (yaitu dengan mudah bertemu (converge)) sedangkan yang lainnya cenderung membagi (diverge) ke dalam berbagai alternatif penjelasan yang memerlukan pengujian dan elaborasi lebih lanjut, dan menemukan kesulitan untuk sampai pada acuan yang kuat. Orang-orang seperti ini menemukan risiko yang berbeda-beda (berubah terlalu cepat versus tidak berubah sama sekali), dan memerlukan bentuk dukungan yang berbeda-beda.
• Holistik vs reduksionistis: mungkin agak tumpang tindih dengan dimensi-dimensi sebelumnya. Di sini, beberapa pembelajar cenderung belajar ‘bagian-bagian’ yang dianggap menarik saja, sedangkan yang lainnya lebih suka belajar secara ‘keseluruhan’.
• Individual vs kelompok: sebagian orang cenderung untuk belajar dengan orang lainnya, sedangkan sebagian yang lainnya cenderung kurang melibatkan orang lain dalam belajar. Bisa juga diasosiasikan kerjasama versus persaingan.
• Motivasi eksternal vsmotivasi internal: orang mungkin berpengalaman mempunyai arahan ‘internal’ untuk mempelajari sesuatu, atau mungkin sedikit banyak merasa ‘dipaksa’ oleh orang lain untuk teribat di dalam pembelajaran tersebut (Stolzenbach & Leeuwis; Katelaars & Leeuwis, 2002). Dengan kata lain, mereka mungkin mempunyai atau mengembangkan suatu ketertarikan nyata terhadap suatu topik dan menjadi antusias untuk mempelajarinya lebih dalam, atau mungkin mereka hanya belajar karena ada ketakutan terhadap sebuah konsekuensi negatif jika mereka tidak mengikutinya. Sekali lagi, pekerja komunikasi secara bijaksana harus mengembangkan strategi khusus dan mendukung tiap kelompok yang berbeda.
2. Tingkatan pembelajaran, dan hubungannya dengan pembuatan keputusan
Sebelumnya, kita telah membuat sebuah perbedaan antara inovasi regular dan inovasi arsitektur, dan mengindikasikan bahwa perbedaan tersebut diasosiasikan dengan perubahan pada tingkatan hirarki yang berbeda dan dengan rentang waktu yang berbeda. Sejalan dengan itu, kita dapat mengatakan bahwa inovasi regular (melibatkan, misalnya: pembuatan keputusan) memerlukan tingkatan pemebelajaran yang berbeda dengan inovasi arsitektur (melibatkan, misalnya: strategi mengambil keputusan). Dalam kasus sebelumnya, kita akan – mengikuti Argyris dan Schon (1996) – berbicara mengenai pembelajaran ‘single loop’. Hal ini secara tipikal melibatkan pembelajaran ‘bagaimana mengerjakan sesuatu dengan lebih baik’ di dalam asumsi dan prinsip kognitif dasar (misalnya, norma, nilai, dan tujuan) yang mendasari praktek yang ada sekarang ini. Ketika asumsi dan prinsip kognisi dasar tadi menjadi subjek belajar (biasanya dalam kasus novasi arsitektur), maka Argyris dan Schon menyebutnya sebagai pembelajaran ‘double loop’. Tipe pembelajaran ini lebih banyak menuntut (dan kadang mengancam), karena ini mempertanyakan dan barangkali membiarkan ketentuan-ketentuan dasar, tujuan dan nilai yang dilakukan sebelumnya, hilang. Misalnya, petani yang biasanya menggunakan pupuk, pestisida dan herbisida pada setiap tanamannya berubah menjadi petani biologis, dia akan harus belajar bagaimana berurusan dengan pupuk kandang, tumpang sari, rotasi yang kompleks, pengendalian hama biologis, dan sebuah jaringan dan lembaga yang baru. Argyris dan Schon menyebutkan tingkat pembelajaran ketiga sebagai pembelajaran ‘triple loop’, yang secara esensial melibatkan belajar tentang pe mbelajaran; dengan kata lain, mempertanyakan metode, teknik yang ada sekarang ini, dan membentuk umpan balik melalui pembelajaran yang dilakukannya. Seorang petani bisa saja, misalnya, menyadari bahwa dia selalu terlambat dalam menemukan masalah kesehatan ternak, dan dapat mencari bentuk rutinitas baru dalam observasi dan pencatatan (registration) yang dapat meningkatkan umpan balik dan pembelajaran mengenai kondisi kesehatan ternak tersebut.
Hubungan antara pembelajaran dan pembuatan keputusan
Pada tahun-tahun awal penyuluhan pertanian dan ilmu penyuluhan, ‘pembuatan keputusan’ menjadi pusat perhatian utama. Pada awal edisi buku ini, penyuluhan bahkan didefinisikan sebagai ‘kesadaran penggunaan komunikasi informasi untuk membantu orang membentuk opini yang masuk akal dan membuat keputusan yang baik’. Maka tidak mengherankan bahwa model prosedural normatif tentang ‘bagaimana membuat keputusan yang masuk akal’ (sangat mirip dengan model perencanaan yang dijelaskan di bagian 4.1) membentuk landasan kegiatan intervensi komunikatif. Kelemahan model ini seperti dijelaskan sebelumnya, penekanannya telah berubah dari perencanaan dan pengambilan keputusan untuk pembelajaran dan negosiasi. Kenyataannva, hal ini tidak realistis, secara praktis untuk mengharapkan orang menjadi setia terhadap prosedur pengambilan keputusan rasional, hal ini akan sangat memakan waktu karena sifat multidimensi dari pertanian dan inovasi, dan banyaknya tujuan dan aspirasi yang terlibat
Jadi, tujuan buku ini lebih berguna dan realistis dalarn peng¬ambilan keputusan sebagai hasil final dari proses pembelajaran yang lama, dengan berbagai tingkatan kesengajaan dan kesadaran, melibatkan juga apa yang disebut Giddens (1984) sebagai ‘moni-toring aksi refleksi’. Dalam pandangan ini, keputusan dapat ‘muncul’ setiap saat, sebagian tidak disadari. Ketika mempertimbangkan pembangunan rumah kaca, misalnya, seorang ahli perkebunan dapat mempertimbangkan tentang berbagai macam pengalaman dan cerita bahwa dia telah bertemu dengan para ahli kebun rumah kaca lain selama 5 atau 10 tahun terakhir, bahkan pertemuan itu sendiri bukan merupakan bagi¬an dari proses yang disengaja dan rasional, serta bagian dari pembuatan keputusan. Sebenarnya, dengan waktu dan pengalaman, secara pelan-pelan telah membangun ide tertentu terkait dengan tata letak optimal rumah kaca, bahan-bahan dan kaca yang akan digunakan, jenis sistem pemanasan untuk dipasang, dll. ketika saat mengambilan keputusan final tiba, ide yang paling penting sehubungan dengan desain rumah kaca dapat direalisasikin, sementara satu-satunya keputusan tetap berupa siapa yang akan membangun rumah kaca dengan harga seperti itu.
Dalam pandangan kami, cara terbaik untuk meningkatkan dan mendukung pengambilan keputusan adalah menstimulir dan mendorong pembelajaran berdasarkan pengalaman. Dengan dasar pembelajaran reguler semacam ini, orang dapat mengidentifikan isu dan masalah mana yang harus ditangani, dan pelan-pelan dapat mengambil wawasan dan pengalaman yang diperlukan untuk menginformasikan dan membentuk kesimpulan, yang dalam peninjauan kembali disebut ‘keputusan’. Namun begitu, semua ini tidak menunjukkan bahwa model-model pembuatan keputusan normatif tidak berguna. Keputusan normatif mungkin membantu menyusun pemikiran kita dan mencapai tindakan yang masuk akal, khususnya di area situasi (mis. tentang krisis yang tidak diharapkan), dimana terjadi pembelajaran berdasarkan pengalaman yang terbatas, sementara pada waktu yang sama, diperlukan tindakan mendesak.
Rute pembelajaran terpusat dan berputar
Sehubungan dengan perubahan sikap (mis, perubahan kerangka berpikir seseorang) Petty dan Cacioppo (1986) berbicara tentang rute ‘terpusat’ dan ‘berputar’ dalam menuju perubahan sikap. Dalam hal pembelajaran, kita dapat mengatakan bahwa kedua rute ini digolongkan oleh perbedaan dalam hal ‘kedalaman’ pembelajaran. Petty dan Cacioppo berbicara tentang ‘rute terpusat’, ketika orang mengubah persepsi dan aspirasi mereka pada basis elaborasi yang hati-hati terhadap argumentasi dan respon-balik (mis. Dengan cara yang sama seperti dinyatakan oleh model-model pengambilan keputusan rasional). Namun demikian, mereka menekankan bahwa orang dapat membentuk atau mengubah sikap dengan cara yang jauh lebih memutar, di mana argumentasi-argumentasi tidak diteliti dengan cermat. Disini orang percaya pada pemicu dan isyarat yang mengikuti penggunaan argumentasi, seperti jurnlab argumentasi yang setuju dan tidak setuju, menariknya presentasi, kredibilitas, sumber, opini lain yang berhubungan, jumlah orang yang tidak setuju, dll. (Petty & Cacioppo, 1986, O”Keefe, 1990). Himbauan yang penuh perasaan dan jalinan yang afektif dapat dianggap sebagai pemicu di sekitarnya (Batra & Ray, 1986; Petty & Cacioppo, 1986; Louw & Midden, 1991). Dapat ‘rasional’ dan efektif untuk mengubah persepsi, aspirasi dan praktik dengan alasan se¬perti itu, yang mungkin dapat membantu untuk mengatasi isu dan situasi yang kompleks, tanpa membuang terlalu banvak energi pada elaborasi (Van Meegeren, 1997). Namun, studi-studi oleh Petty dan Cacioppo (1986) dan lainnya (Verplanken, 1989) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi melalui jalur terpusat cenderung lebih sehat dibandingkan perubahan hasil bujukan dari sekitarnya; dalam kasus sebelumnya persepsi dan aspirasi kurang dapat mengubah dalam berhadapan dengan kontra ¬argumentasi yang dihadirkan, lebih mungkin untuk diikuti oteh perubahan dalam praktik, dan cenderung berakhir lebih lama. Bagi para agen perubahan, pengertian ini penting, karena mereka mengimplikasikan bahwa perjuangan untuk perubahan yang dapat bertahan lama mernerlukan stimulasi bentuk pembelajaran yang lebih aktif (mis. sentral). Ini sejajar dengan pentingnya ‘discovery learning’ yang ditekankan sebelumnya.
3. Sentralitas umpan balik yang relevan
Seperti kita lihat, umpan balik memainkan peran penting dalam membentuk kegiatan manusia. Pada dasarnva hal ini merupakan mekanisme penting dalam pembelajaran ma¬nusia. Umpan-balik merupakan informasi yang kita dapatkan tentang hasil, karakteristik dan/atau konsekuensi tindakan kita, dan membantu kita untuk mengevaluasinya. Informasi semacam ini dapat datang dari berbagai sumber, dapat bervariasi sifatnya (tergantung pada area pembelajaran yang ikut di dalamnya), dan dapat bervariasi dalam kualitas ketelitian, kepercayaan, keabsahan, dll. Khususnya, ketika umpan-balik ‘mengganggu’ dapat memicu proses pembelajaran. Hampir semuanya dapat menjadi umpan-balik terkait dengan sesuatu, Beberapa contoh dapat membantu mengklarifikasikannya:
1. Di sekolah, guru sering memberikan angka kepada muridnya yang seharusnva menjadi indikasi tentang pengetahuan dan kemampuan siswa di area tertentu, mis. angka diartikan untuk memberikan umpan-balik tentang bagaimana melakukan tugasnya.
2. Seorang petani dapat membuat perkiraan visual secara kasar atau ukuran hasil jagung per hektar yang sangat tepat, dan membandingkan informasi dengan perkiraan/ukuran serupa dari tahun-tahun sebelumnya dan/atau petani lain untuk menilai apakah perubahan tertentu dalam praktik pertanian positif atau negatif.
3. Seorang pekerja komunikasi dapat mengorganisir pertemuan dan mengamati bahwa beberapa orang tertidur selama pertemuan tersebut, dan menduga bahwa ada sesuatu salah dengan topik pertemuannya dan/atau cara penyelenggaraannya.
4. Seseorang mungkin diberitahu oleh seorang kolega bahwa ada orang lain dalam organisasi tersebut menganggap cara dia beroperasi menyinggung dan tidak taktik, dan menyimpulkan bahwa hal itu dapat menjadi ide bagus untuk bekerja dalam kegiatan sosialnya.
5. Seorang petani secara tidak sengaja berbicara kepada seorang penduduk perkotaan, dan menyimpulkan dari diskusi bahwa konsumen tersebut memiliki persepsi yang sangat berbeda sehuhungan dengan kualitas dan keamanan pangan, dan ada kebutuhan untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Tentu saja umpan-balik yang kita dapatkan tidak selalu optimal atau lengkap, dan juga kesimpulan yang kita tarik dapat menyesatkan. Sehubungan dengan conton-contoh di atas, mungkin menjadi:
(Contoh 1): Nilai para siswa terpengaruh oleh kualitas ujian yang buruk dari gurunya.
(Conoth 2): Perkiraan hasil terlalu kasar untuk memberi arti dan/atau ukuran hasil terpengaruh oleh panen yang tidak dihitung untuk konsumsi sendiri.
(Contoh 3): Hadirin dalam pertemuan tertidur karena mereka pergi ke pesta malam sebelumnya.
(Contoh 4); Koleganya tidak sungguh-sungguh dan/atau mengekspresikan pandangannya sendiri.
(Contoh 5): Penduduk perkotaan sangat tidak representatif terhadap konsumen secara umum.
Sering terjadi bahwa orang tidak semata-mata mendapatkan umpan-balik tentang masalah tertentu. Pada tingkat personal hal itu dapat mengancam yang lain untuk memberikan umpan-balik, misalnva karena mereka tidak tahu tentang bagaimana seseorang akan merespon dan tidak ingin membuat hubungan baiknya berada dalam risiko. Untuk alasan serupa orang yang berada dalam positsi berkuasa dapat menerima umpah-balik yang tidak memadai dalam berbagai masalah, hal ini semata-mata karena bawahannva tidak ingin membawa ‘berita buruk’. Jadi, para pemimpin mungkin kehilangan sentuhan dengan hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, yang mungkin memiliki konsekuensi serius dalam memberi kuputusan kebijakan yang sangat tidak memadai.
Makanva, menstimulir dan berkontribusi terhadap pembelajar¬an hampir sama dengan mengorganisir dan memberikan umpan balik yang baik. Khususnva, ketetapan bentuk-bentuk umpan batik baru dapat menstimulir karena dapat membuat hal-hal nyata, dapat dikelola dan dapat diperdebatkan sebelumnya. Misalnya, ketika petani padi di Indonesia mulai menghitung ‘hama bagus’ dan ‘hama buruk’ untuk mendapatkan umpan-balik yang persis tentang keseimbangan di antara gangguan/serbuan hama dan adanya musuh alam, hal ini membantu memperbaiki kapasitas dan antusiasme mereka untuk menggunakanpengendalian hama biologis dan mengurangi penggunaan pestisida (Van deFliert, 1993).
Jenis umpan-balik yang diberikan oleh pekerja komunikasi mungkin beragam menurut komunikasi terhadap strategi inovasi yang ada. Dalam konteks upaya untuk memfasilitasi resolusi konflik atau desain kebijakan interaktif misalnva, eksplorasi berbagai perspektif stakeholder telah mem¬berikan umpan-balik penting dalam diri sendiri kepada peserta. Hal serupa, dalam konteks komunikasi manajemen lahan pertanian, strategi dan metode yang kuat, pekerja komunikasi dapat menggunakannya untuk megoraganisir umpan balik bagi petani untuk belajar, termasuk:
• Mengukur hal-hal yang bekum diukur (mis. contoh penghitungan hama);
• Membuat pengaturaan di mana petani dapat membandingkan, kegiatan dan hasil lahan pertanian mereka dengan milik petani lain;
• Membuat pengaturan dimana petani dapat membandingkan kegiatan dan hasil mereka dalam satu musim dengan musim atau tahun lalu;
• Mendukung desain dan evaluasi eksperimen di lahan;
• Memvisualisasikan proses-proses agro-ekologi yang sulit diamati.
Saat ini mungkin penting untuk dicatat bahwa, pemberian umpan-balik dapat memasukkan bentuk-bentuk ukuran sistematis. Ketika mempertimbangkan kualitas bentuk umpan balik berdasarkan-ukuran, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul adalah:
• Kepercayaan, mis: Seberapa konsisten prosedur/alat pengukur yang digunakan dalam perbandingan? Apakah berbagai pengukuran betul-betul dapat dibandingkan?
• keabsahan internal, misalkan apakah prosedur/alat pengukur dalam pandangan masalah dan isu yang dihadapi orang?
• keabsahan eksternal, misalkan apakah umpan-balik yang diberikan relevan dalam pandangan masalah dan isu yang dihadapi orang?
• kesungguhan, misalkan Apakah mereka vanp angmumberikan umpan-balik sungguh-sungguh dalam mencoba untuk memanipulasi?
Pada dasarnya isu-isu serupa dapat disampaikan dengan bentuk-bentuk umpan balik yang tidak berasal dari ukuran sistematis, misalnya, umpan balik yang orang berikan atau terima dalam kegiatan sehari-hari, atau klaim yang dibuat dan/atau perspektif yang dicontoh selama proses negosiasi.
Umpan balik positif (mendukung) dan negatif (konfrontasi)
Dalam literatur, sering dibedakan antara umpan-balik po¬sitif dan negatif. Umpan-balik positif (atau mendukung) meru¬pakan informasi yang mengindikasikan adanya kemajuan dalam memecahkan masalah, atau bahkan merupakan indikasi peng¬hargaan finansial, misalnva pemerintah mengahrgai pencapaian seseorang. Sebaliknva, umpan-balik negatif merupakan informasi yang mengindikasikan eksistensi suatu masalah dan/atau se-seorang tidak melakukannya dengan baik. Yang lain menyebut Jenis umpan-balik ini konfrontasi (Heymann, 1999). Riset psikologi sosial menunjukkan bahwa penghargaan positif sering memiliki dampak lebih besar daripada sangsi negatif; hal ini karena orang cenderung untuk menutup diri dari ‘berita buruk’ atau mencoba mencari alasannya (Martijn, 1995; Van Meegeren, 1997). Di sisi lain, umpan-balik konfrontasi memiliki potensi yang menyebabkan ketegangan mental, yang merupakan persyaratan penting untuk pembelajaran dan mempermasalahkan praktik dan rutinitas saat ini. Hal ini mengimplikasikan bahwa akan menjadi sangat efektif, khususnya ketika orang telah terbuka untuk belajar, atau ketika umpan-balik tersebut terlalu kuat yang hampir tidak dapat disangkal atau diacuhkan.
Dalam mengejar perubahan, pekerja komunikasi akan bijaksana dalam mencari keseimbangan antara bentuk umpan balik positif dan konfrontasi.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran (syarat dan hambatan)
Kita hidup dalam masyarakat dan ekosistem yang dinamis, yang menyiratkan ada banyak situasi dimana pembelajaran manusia menjadi syarat. Namun, walau ada kebutuhan belajar, kelompok dan/atau individu sering cenderung untuk tidak belajar, atau hanya mulai belajar ketika masalah-masalah telah membesar. Ini bahkan dapat terjadi dalam situasi ketika umpan balik konfrontasi telah ada. Di bagian ini kita menunjuk pada sejumlah faktor dan proses yang membantu kita untuk memahami lebih baik mengapa belajar perlu dilakukan atau tidak, yang menambah ide bahwa belajar memerlukan sejumlah umpan-balik. Dalam istilah umum, pertanyaan tentang mengapa orang belajar atau tidak dapat dipahami dengan bantuan model praktik pemahaman petani kita, karena ‘pembelajaran’ dapat dianggap sebagai ‘praktik’juga. Dengan kata lain, disini juga faktor-faktor seperti kerangka acuan, tekanan sosial dan kepercayaan diri penting. Kita akan menyoroti dan menterjemahkan beberapa isu yang secara khusus terkait dengan pembelajaran.
Pertama, bahwa pembelajaran memerlukan upaya, energi dan waktu. Ini berarti bahwa pembelajaran dapat dianggap ‘sumber langka’. Dengan kata lain, orang selektif dalam investasi Pem¬belajaran mereka. Sebuah faktor yang sering disebut adalah ‘motivasi untuk belajar’. Variabel ini mengekspresikan bahwa untuk mengambil kesempatan belajar secara khusus, orang harus dimotivasi untuk melakukannya. Berikut adalah faktor yang mempengaruhi motivasi belajar:
a. Kepentingan/keseriusan relatif dari masalah yang ditangani
Belajar membutuhkan orang mengalami masalah, artinya tergantung dari prioritas aspirasi yang terlibat dan ukuran dari ketegangan yang dirasakan kebutuhan yang diinginkan dan kebutuhan saat ini. Orang mungkin akan mendefinisikan masalah penting dan serius secara relatif atau tidak. Prinsipnya orang dapat diharapkan memilih masalah yang lebih serius untuk belajar. Menyediakan bahwa mereka mempunyai percaya dari dan kemungkinan dari pemecahan masalah.
b. Keterlibatan langsung dengan masalah
Orang mungkin menganggap masalah sebagai serius dan penting tapi mungkin tidak mengalami konsekwensinya secara personal. Ketika orang secara personal, terlibat dalam isu dimana aspirasi mereka terancam, merka mungkin akan lebih ingin belajar. Hal itu kita sebut sebagai relevansi personal atau keluaran keterlibatan relefan. Penting untuk mengenali bahwa kemauan orang untuk belajar terbatas pada topik tertentu dan tanpa melibatkan topik lainnya. Menurut kami yang betul adalah bentuk keterlibatan, dibandingkan dengan relefansi personal yang langsung. Jhonson and Eakly (1989) berkata, mengemukakan tentang keterlibatan yang relevan terlibat ketika nilai uang lebih terlibat, dibandingkan minat yang nyata.
c. Tingkat kepentingan (urgensi)
Ketika orang merasa terdapat kebutuhan yang penting untuk memecahkan masalah, mereka akan lebih termotivasi untuk terlibat dalam belajar dibanding ketika belajar dapat dengan mudah ditunda. Kepentingan dapat lebih atau kurang terkandung dalam masalah, tetapi juga dapat diciptakan.
d. Efikasi diri dan efikasi lingkungan
Untuk berinvestasi dalam belajar, orang harus mempunyai kepercayaan bahwa mereka mampu memecahkan masalah. Sehingga mereka harus percaya pada kapasitas dirinya dengan menganggap untuk memecahkan masalah dan atau mempunyai ide dimana mereka akan didukung secara efektif oleh orang lain dalam menemukan dan mengimplemantasikan jalan keluar.
e. Kompleksitas, observabilitas dan triabilitas
Kompleksitas masalah secara tidak langsung mempengaruhi motivasi orang untuk belajar, apabila orang merasa bahwa masalah secara teknis dan sosial sangat komplek mereka merasakan efikasi diri dan lingkungan akan berkurang. Kompleksitas jelas akan berhubungan dengan tingkat belajar. Dalam wilayah belajar, keterlibatan proses dengan mudah dapat observasi dengan bantuan panca indera. Observabilitas dapat ditingkatkan dengan adanya umpan balik. Triabilitas mengacu kepada perluasan dimana belajar dapat didukung melalui eksperimen sekala kecil. Percobaan kecil mengijinkan orang untuk optimis dengan teknologi dan praktek praktek baru sebelum mengaplikasikan mereka kepada skala yang lebih besar, sehingga mengurangi resiko kegagalan secara besar.
f. Kejelasan tentang sifat masalah
Komponen penting kejelasan adalah terletak pada kesepakatan tentang sifat dan keseriusan masalah. Jika orang berhadapan dengan informasi dan argumen yang kontradiktif dalam hubungannya pada masalah mereka mungkin akan bingung berhadapan dengan hal tersebut.
g. Merasakan konsekuensi sosial dan risiko yang terkait dengan penerimaan alternatif kognisi
Belajar mungkin akan terkendala oleh harapan untuk mencegah konsekuensi negatif untuk menerima ide-ide baru atau harapan untuk menghindari ketidakpastian yang timbul darinya. Mungkin juga terjadi sebaliknya. Ketika orang merasa kognisi dapat dihargai, proses belajar mungkin akan berlangsung lebih cepat.
h. Ruang sosial dan organisasi
Orang dan organisasi cenderung menekankan ancaman, menjadi tertutup, enggan belajar, dan aksi defensif terhadap lingkungan mereka.
i. Sumberdaya dan ruang aman untuk eksperimen
Belajar eksperimental biasanya membutuhkan energi, waktu, perlengkapan, dan infrastruktur. Meskipun ada kemauan, belajar mungkin terkendala oleh kelangkaan sumber daya. Sumber daya mungkin menjadi penting untuk mencari jalan keluar terkait triabilitas. Belajar membutuhkan akses terhadap sumberdaya dan ruang aman untuk eksperimen dalam proses inovasi.
j. Stres dan trauma
Belajar dapat distimulasi oleh ketidakpuasan dengan situasi dan tekanan dari luar yang sudah ada. Dalam beberapa kasus masalah dan ketegangan bekerja produktif. Pada situasi tertentu, orang menghadapi berbagai masalah dan ketegangan dan tidak dapat menghadapinya. Orang menjadi kewalahan menghadapi berbagai tekanan. Trauma mental dapat dihasilkan dari bentuk beragam kekerasan dan seringkali membutuhkan waktu lama untuk pulih.
5. Aspek belajar
Aspek belajar yang harus dilalui pembelajar dalam proses pembelajaran sosial adalah:
- Menjadi waspada
- Menjadi tertarik dan termobilisasi
- Menjadi terlibat dalam belajar social eksperiental (dalam konteks negosiasi)
- Memapankan adaptasi praktek dan rutin
Dalam perubahan, penting bagi agen peubah untuk menyadari bahwa belajar dari stakeholder yang berbeda dan kelompok masyarakat, pada waktu tertentu, akan menemui aspek belajar yang berbeda pula, oleh karena untuk setiap aspek tipe yang berbeda diperlukan informasi yang berbeda pula.
Untuk menjadi waspada dari situasi problematik, orang membutuhkan informasi yang memadai dan umpan-balik dalam sifat, kepentingan, ukuran dan keseriusan dari ranah permasalahan. Untuk menjadi tertarik dan termobilisasi isu lainnya mungkin akan lebih relevan, contohnya informasi yang menganggap konsekuensi personal, kesempatan, ancaman, tingkat kepentingan dan kemungkinan kontrubusi yang efektif untuk pemecahan masalah (isu efikasi). Ketika orang menjadi terlibat secara aktif dalam belajar eksperimental dan negosiasi, hal yang berbeda menjadi penting, seperti informasi dalam solusi yang bersifat organisasi dan teknis, dan perspektif dan posisi stakeholder lainnya. Untuk kemapanan praktek dan rutin sosial-teknis baru, stakeholder membutuhkan umpan-balik terkait keefektifan praktek-praktek mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar